MATAHARI DI SEBUAH JALAN KECIL
Karya Arifin C. Noor
Sebentar lagi berkas-berkas di
langit akan buyar dan matahari akan memulai memancarkan sinarnya yang putih,
terang dan panas. Jalan itupun akan mulai hidup, bernafas dan debu-debu akan
segera berterbangan mengotori udara.
Jalan itu bukan jalan kelas satu.
Jalan itu jalan kecil yang hanya dilalui kendaraan-kendaraan dalam jumlah
kecil. Tetapi sebuah pabrik es yang tidak kecil berdiri di pinggirnya dan
pabrik itu memiliki gedung yang sangat tua. Di depan gedung itulah para pekerja
pabrik mengerumuni simbok yang berjualan pecel di halaman.
Seorang laki-laki yang sejak malam
terbaring, tidur di ambang pintu yang terpalang tak dipakai itu, bangun dan
menguap setelah seorang yang bertubuh pendek membangunkannya. Laki-laki itu
adalah penjaga malam.
PENJAGA
MALAM : Uuuuuh,
gara-gara pencuri, aku jadi kesiangan.
SI PENDEK : Tadi malam
ada pencuri?
PENJAGA
MALAM : Di sana, di
ujung jalan itu! (menunjuk)
SI PENDEK : Tertangkap?
PENJAGA MALAM
: Dia licik
seperti belut. (menggeliat lalu pergi)
SI PENDEK
(duduk lalu membaca koran)
Seorang pemuda (anak laki-laki) membawa baki di atas
kepalanya lewat. Ia menjajakan kue donat dan onde-onde. Suaranya nyaring
sekali. Tak ada orang mengacuhkannya. Begitu ia lenyap seorang pemuda lewat
pula yang berjalan dengan perlahan, berbaju lurik kumal, sepatu kain yang sudah
rusak dan buruk, wajahnya pucat. Sebentar ia memperhatikan orang-orang yang
tengah makan lalu ia pergi dan iapun tak diperhatikan orang.
Gemuruh mesin yang tak pernah berhenti itu, yang abadi
itu, makin lama makin mengendur daya bunyinya sebab lalu lintas di jalan itu
mulai bergerak dan orang-orang semakin banyak di halaman pabrik itu. Simbokpun
makin sibuk melayani mereka. Lihatlah!
SI TUA (menerima
pecel) Sedikit sekali.
SIMBOK (tak
menghiraukan dan terus melayani yang lain)
SI PECI : Ya, sedikit
sekali (menyuapi mulutnya)
SI TUA : Tempe lima
rupiah sekarang.
SI KACAMATA
: Beras mahal
(membuang cekodongnya) kemarin istriku mengeluh.
SI PECI : Semua
perempuan ya ngeluh.
SI KURUS : Semua orang
pengeluh.
SI KACAMATA
: Kemarin sore
istriku berbelanja ke warung nyonya pungut. Pulang-pulang ia menghempaskan
nafasnya yang kesal……. Harga beras naik lagi, katanya.
SI PECI : Apa yang
tidak naik?
SI TUA : Semua naik.
SI KURUS : Gaji kita
tidak naik.
SI KACAMATA
: Anak saya
yang tertua tidak naik kelas.
SI TUA : Uang seperti
tidak ada harganya sekarang.
SI KURUS : Tidak
seperti…. Ah memang tak ada harganya.
SI TUA
(mengangguk-angguk)
SI PECI : Ya.
SI KACAMATA
: Ya.
SI PENDEK : Menurut saya
(menurunkan koran yang sejak tadi menutupi wajahnya. Sebentar ia berfikir
sementara kawannya bersiap mendengar cakapnya). Menurut saya, sangat tidak baik
kalau kita tak henti-hentinya mengeluh sementara masalah yang lebih penting
pada waktu ini sedang gawat menantang kita. Dalam seruan serikat kerja kitapun
telah dinyatakan demi menghadapi revolusi dan soal-soal lainnya yang menyangkut
negara kita harus turut aktif dan bersiap siaga untuk segala apa saja dan yang
terpenting tentu saja perhatian kita.
SI TUA
(menggaruk-garuk)
SI PENDEK : Ya, baru
saja saya baca dari koran….nich, korannya…. Bahwa kita harus waspada terhadap
anasir-anasir penjajah, kolonialisme. Kita harus hati-hati dengan mulut yang
manis dan licin itu. (tiba-tiba batuk dan keselek)…..tempe mahal tidak enak
rasanya… (meneruskan yang semula) beras yang mahal hanya soal yang tidak lama.
SI PECI : Ya.
SI KACAMATA
: Ya.
SI PENDEK : Ya.
SI TUA : Dulu
(batuk-batuk), dulu saya hanya membutuhkan uang sepeser untuk sebungkus nasi.
SI PECI : Dulu?
SI TUA : Ketika jaman
normal.
SI KURUS : Jaman
Belanda.
SI TUA : Ya, jaman
Belanda. Untuk sehelai kemeja saya hanya membutuhkan uang sehelai rupiah.
SI KURUS : Tapi untuk
apa kita melamun, untuk apa kita mengungkap-ungkap yang dulu?
SI PENDEK (makin
berselera) : Ya, untuk apa? Untuk apa kita melamun? Untuk apa kita mengkhayal?
Apakah dulu bangsa kita ada yang mengendarai mobil? Sepedapun hanya satu dua
orang saja yang memilikinya. Kalaupun dulu ada itulah mereka para bangsawan,
para priyayi dan para amtenar yang hanya mementingkan perut sendiri saja.
Sekarang lihatlah ke jalan raya.
SI PENDEK : ……
Lihatlah Kemdal Permai, stanplat. Pemuda-pemuda kita berkeliaran dengan sepeda
motor. Kau punya sepeda? Ya, kita bisa mendengarkan lagu-lagu dangdut dari
radio. Ya?
SI KACAMATA
: Ya.
SI PENDEK : Ya, tidak?
SI KURUS : Ya.
SI PENDEK : Ya, tidak?
SI TUA
(mengangguk-angguk)
SI PENDEK : Sebab itu
kita tidak perlu mengeluh, apalagi melamun dan mengkhayal, sekarang yang
penting kita bekerja, bekerja yang keras.
SI KACAMATA
: Saya juga
berpikir begitu.
SI PENDEK : Kita bekerja
dan bekerja keras untuk anak-anak kita kelak.
SI KACAMATA
: Saya ingin
anak saya memiiki yamaha bebek.
SI PENDEK : Asal giat
bekerja kita bebas berharap apa saja.
SI KURUS : Tapi kalau
masih ada korupsi? Anak kita akan tetap hanya kebagian debu-debunya saja dari
motor yang lewat di jalan raya.
SI PECI : Ya.
SI KACAMATA
: Ya.
SI TUA : Ya, sekarang
kejahatan merajalela.
SI KURUS : Semua orang
bagai diajar mencuri dan menipu.
SI KACAMATA
: semua orang.
SI KURUS : Uang serikat
kerja kitapun pernah ada yang menggerogoti (melirik kepada si pendek)
SI PECI : Ya, setahun
yang lalu. (melirik si pendek)
SI KACAMATA
: Ya, dan
sampai sekarang belum tertangkap tuyulnya. (melirik pad si pendek)
SI TUA
(mengangguk-angguk)
PEMUDA
muncul lagi, mula-mula ragu lalu ia turut bergerombol dan makan pecel.
SI PECI : Ya, setahun
yang lalu (melirik si pendek) Sekarang kita sukar mempercayai orang.
SI KURUS : Bahkan kita
takkan percaya lagi pada kucing. Kucing sekarang takut pad tikus dan tikus
sekarang besar-besar, malah ada yang lebih besar daripada kucing, dan adapula
tikus yang panjangnya satu setengah meter dan empat puluh kilogram beratnya.
Tapi yang lebih pahit kalau kucing jadi tikus alias kucing sendiri sama kurang
ajarnya dengan tikus.
SI PECI : Ya, sekarang
kucing malas-malas dan kurang ajar.
SI KACAMATA
: Dunia penuh
tikus sekarang.
SI KURUS : Dan
tikus-tikus jaman sekarang beraqni berkeliaran di depan mata pada siang hari
bolong.
SI TUA : Omong-omong
perkara tikus, (batuk-batuk) sekarang ada juga orang yang makan tikus.
SI KACAMATA
: Bukan tikus,
cindel. Orang Tionghoa di tempat saya biasa menelan cindel hidup-hidup dengan
kecap, mungkin untuk obat.
SI TUA : Bukan
cindel, tikus-tikus, Wirog. Petani-petani sudah sangat jengkel karena diganggu
sawahnya, sehingga mereka dengan geram dan jengkel lalu memakan tikus-tikus
sebagai lauk, daripada mubazir. Tapi ada juga yang memakan tikus itu
sebab……….lapar.
SI PECI : Ya, sekarang
sudah hampir umum di kampung-kampung, bahkan ada juga anjuran dari pemerintah
setempat.
SI KURUS (pada si
tua) : Enak?
SI TUA : Ha?
SI KURUS : Sedap?
SI TUA : Saya tidak
turut makan (tersenyum).
Semua tertawa. Lonceng bekerja berdentang. Mereka
masing-masing menghitung dan menyerahkan uang pada simbok kemudian pergi
bekerja, lewat jalan samping. Yang terakhir adalah si pendek.
SI PENDEK : Berapa Mbok?
SIMBOK : Apa?
SI PENDEK : Nasi pecel
dua, tempe satu, tahu satu, rempeyek satu.
SIMBOK : Tujuh puluh
lima.
SI
PENDEK : Bon. (pergi)
Pemuda menghabiskan makannya dengan lahap sekali,
setelah membuang cekodongnya ia minta air yang biasa disediakan oleh penjual
pecel itu. Ia berdiri, merogoh saku celana. Ia cemas, saku baju dirogohnya. Ia
makin cemas, simbok memperhatikan dengan biasa.
SIMBOK : Ada yang
hilang?
PEMUDA : Barangkali
tidak.
SIMBOK : Apa?
PEMUDA : Dompet.
SIMBOK : Dompet? Ada
uang di dalamnya?
PEMUDA : Juga surat
keterangan penduduk. Tapi (mengingat-ingat) barangkali saya lupa dan tidak
hilang. Tadi malam saya mengenakan baju hijau dengan celana lurik hijau. Yang
mungkin dompet itu dalam saku baju hijau….. Berapa Mbok?
SIMBOK : Nasi dua.
PEMUDA : Tempe dua,
tahu tiga.
SIMBOK : Delapan
puluh.
PEMUDA (seraya
hendak pergi) :Sebentar saya pulang mengambil uang. Dompet saya dalam saku baju
hijau barangkali.
SIMBOK : Nanti dulu.
PEMUDA : Tak akan
lebih dari sepuluh menit. Segera saya kembali.
SIMBOK : Tapi
sebentar lagi saya mau pergi dari sini.
PEMUDA : Tapi
dompetku ketinggalan di rumah. Sebentar rumahku tidak jauh dari sini.
SIMBOK : Ya, tapi
sebentar lagi saya akan pergi dari sini.
PEMUDA : Sebentar
(akan pergi)
SIMBOK : (berdiri
dan berseru) Hei, nanti dulu. Bayarlah baru kau boleh pergi.
PEMUDA : Jangan
berteriak. Tentu saja saya akan membayar. Tapi saya mesti mengambil uang dulu
di rumah. Mbok tidak percaya?
SIMBOK (diam)
PEMUDA : Tunggulah
sebentar, saya orang kampung sini juga.
TERDENGAR
ADA SUARA : Ada apa Mbok?
SI KURUS : Ada apa
Mbok? (di jendela)
SIMBOK : Dia belum
bayar.
PEMUDA : Tunggulah
lima menit (pergi).
SI KURUS : Hai, dik!
Tunggu!
PEMUDA : Saya akan
mengambil uang. Saya belum membayar makanan saya, sebab itu saya akan pulang mengambil
uang saya. Dompet saya ketinggalan.
SI KURUS : Ya, tapi
jangan main minggat-minggatan.
PEMUDA : Saya tidak
berniat lari atau minggat, lagipula saya sudah bilang sama si Mbok.
SI KURUS : Simbok
mengijinkan?
PEMUDA : Saya Cuma
sebentar.
SI KURUS : Simbok
memperbolehkan engkau pergi?
PEMUDA (diam)
SI KURUS : Simbok
keberatan engkau meninggalkan tempat ini sebelum engkau membayar makananmu.
PEMUDA : Bagaimana
dapat saya bayar? Dompet saya ketinggalan.
SI KURUS : Ya, tapi
jangan main minggat-minggatan.
PEMUDA : Saya tidak
berniat minggat atau lari.
SI KURUS (lenyap
dari jendela, muncul dari pintu samping) Dimana rumahmu?
PEMUDA : Dekat.
SI KURUS: Dekat di
mana?
PEMUDA : Di kampung
ini.
SI KURUS : Ha? (pada
Simbok) Mbok, kenal pada anak itu?
SIMBOK : Seumur hidup
baru pagi ini saya menjumpainya. Tapi peristiwa semacam ini kerap kualami. Dulu
saya percaya ada orang yang betul-betul ketinggalan uangnya tetapi orang-orang
sebangsa itu tidak pernah kembali. Seminggu yang lalu saya tertipu dua puluh
rupiah. Tampangnya gagah dan meyakinkan sekali, waktu itu ia bilang uangnya
tertinggal di rumah. Tapi sampai hari ini pecel yang dimakannya belum dibayar.
Benar dua puluh itu tidak banyak, tetapi dua puluh kali sepuluh adalah tidak
sedikit. Sekarang saya sudah kapok dan cukup pengalaman.
SI KURUS
Baru
sekarang ini kau jajan pada simbok, bukan?
PEMUDA
Ya.
SI KURUS
Lalu kenapa
kau berani-berani jajan padahal kamu tahu tak beruang.
PEMUDA
Saya
beruang.
SI KURUS : Bayarlah
sekarang.
PEMUDA : Uang saya
ketinggalan.
SI KURUS : Kenapa kau
berani jajan.
PEMUDA : Saya tidak
tahu kalau uang saya ketinggalan di saku baju hijau. Dan sekarang saya akan
pergi mengambil uang itu.
Muncul di
jendela, si peci
SI PECI : Ada apa dia?
SI KURUS : Makan tidak
bayar.
SI PECI : Siapa?
SI KURUS : Pemuda ini.
SI PECI : Dia? (lenyap
dari jendela muncul dari pintu)
SI KURUS : Kau bayarlah
sebelum orang-orang ramai datang ke sini.
SI PECI : Ya,
bayarlah. (pada simbok) Berapa dia habis?
SI KURUS : Berapa Mbok?
SIMBOK : Delapan
puluh.
Dua orang
anak masuk, mereka menonton
SI KURUS : Kenapa jadi
diam?
SI PECI : Kenapa?
PEMUDA : Saya tidak
berniat minggat.
SI KURUS : Masih muda
sudah belajar tidak jujur. Masih muda sudah belajar makan tanpa jerih payah.
SI PECI : Kenapa tidak
membayar?
PEMUDA : Saya mau
membayar, uang saya ketinggalan.
SI PECI : Ketinggalan
di mana?
SI KURUS : Di bank?
PEMUDA : Di rumah.
SI KURUS : Di mana
rumahmu?
PEMUDA : Di sini.
SI KURUS : Di sini di
mana?
PEMUDA : Di kampung
ini.
SI KURUS : Kau warga
kampung ini?
PEMUDA : Saya orang
baru.
SI KURUS : Kau tahu
nama kampung ini?
PEMUDA : Pegulen.
SI KURUS : Pegulen? Di
RT mana kau tinggal?
PEMUDA : Di RT lima.
SI KURUS : RT lima
betul?
PEMUDA : Kalau tidak
keliru.
SI KURUS : Kalau tidak
keliru?
PEMUDA : Mungkin saya
lupa, saya orang baru.
SI KURUS : Baik. Siapa
kepala RT lima?
PEMUDA : Saya orang
baru di kampung ini.
SI KURUS : Tentu saja
kau harus mengatakan orang baru di kampung ini, sebab kalau kau mengatakan
orang lama di kampung sini tentu kau harus menjawab siapa nama kepala RT lima.
Baik, dari mana asalmu?
PEMUDA : Muntilan.
SI KURUS : Dekat. Nah,
kau katakan di mana tempat tinggalmu?
PEMUDA : RT lima
Pegulen.
SI KURUS : RT lima
dimana?
PEMUDA : Di RT lima.
SI KURUS : Ya, di rumah
siapa?
PEMUDA : Dekat
bengkel Slamet.
SI KURUS : Bengkel
Slamet, bengkel mobil itu?
PEMUDA : Bengkel
sepeda.
SI KURUS : O.., Ya
betul, bengkel sepeda. Di mana bengkelnya?
PEMUDA : Di dekatnya.
SI KURUS : Di atasnya?
PEMUDA : Di
sebelahnya.
SI KURUS : Ya, di
sebelah atas.
PEMUDA : Sebelah
kiri.
SI KURUS : O…, rumah
siapa itu?
PEMUDA : Rumah tukang
sepatu.
SI KURUS : Hapal
sekali. Tukang sepatu siapa namanya?
PEMUDA : E….. Mas
Narko, Sunarko.
SI KURUS : Salah,
ternyata kau bohong. Nah, sejak sekarang saya akan memanggilmu pembohong. Rumah
itu adalah rumah saya. Di muka rumah itupun berdiri rumah Simbok ini. Kau
bohong.
PEMUDA : Saya tidak
bohong. Bukankah diantara rumah saudara dan bengkel ada sebuah rumah petak yang
agak bagus.
SI KURUS : Kau cerdas
sekali, tapi tolol. Rumah itupun rumah pak Prawiro, bukan rumah mas Sunarko.
PEMUDA : Barangkali
namanya Sunarko Prawiro.
SI KURUS : Indah sekali
namanya. Kau yakin benar nama itu?
PEMUDA : Saya tidak
begitu kenal namanya.
SI KURUS : Tentu saja
pak Prawiro itu sangat tidak kenal padamu.
PEMUDA : Tapi saya
kenal orangnya dan saya mondok pada istrinya.
SI KURUS : Setiap orang
yang punya sepatu yang rusak dan buruk seperti sepatumu pasti kenal padanya.
Dia tukang sepatu.
PEMUDA : Tapi saya
betul-betul kenal.
SI KURUS : Betul?
PEMUDA : Betul.
SI KURUS: Betul?
PEMUDA (diam)
SI KURUS : Puh!
Pembohong. Tampangmu saja sudah mirip bajingan. Pintar kau ngoceh ya? Saya
adalah orang yang paling benci pada ketidakjujuran, saya muak. Saya menyesal
sekali melihat penipu semuda kau. Tapi saya terlanjur muak. Saya benci, kau
tahu? Gaji saya sedikit, tapi saya tak mau menipu atau mencuri. Ya, tentu saja
kau semakin kurus, sebab benar kata Joyoboyo, yang pintar keblinger yang jujur
mujur. Sekarang baiklah, bayar atau tidak? Ya memang sedikit uang delapan puluh
rupiah, tapi bagi saya kejahatan tetap kejahatan, dan saya benci serta
menyesal, yang melakukan perbuatan hina itu adalah manusia bukan anjing. Dan
lebih menyesal lagi kalau yang melakukan kerja nista itu adalah bakal dan calon
orang, yaitu kamu, PEMUDA. Nah, bayar atau tidak? Terus terang.
PEMUDA : Saya mau
bayar.
SI KURUS : Bayarlah!
PEMUDA : Uang saya
ketinggalan.
SI KURUS : Ketinggalan
di mana? Di Bank? Di kantong pak Prawiro atau mau mencopet dahulu? Mau belajar
jadi garong… biar… cair kepalamu? Sayang kumismu jarang, kalau panjang dan
lebat saya sudah gemetar.
PEMUDA : Betul, uang
saya ketinggalan.
SI KURUS : Bohong!
PEMUDA : Sungguh.
SI KURUS : bohong. Kau
tadi sudah bohong sebab itupun kau pasti pembohong.
PEMUDA : Percayalah
mas, kalau saya berbohong………
SI KURUS :
(memotong) Bohong. Bohong kau…… (geram hendak memukul pemuda itu tetapi
tiba-tiba ia mengurungkan niatnya) Saya percaya kau adalah manusia, bukan
binatang. Saya jadi ingat saudara saya sendiri. Seperti sekarang juga saya
merasa parah dalam hati. Waktu itu saya tidak bisa menahan diri lagi
sebenarnya, tetapi saya juga mengerti bahwa saudara saya itu mesti masuk
penjara, sebab ia telah melakukan kejahatan yang kubenci, tapi saya merasa
parah dan tetap benci akan apa yang berbau ketidakjujuran. Sekarang terus
terang saja mau bayar atau tidak?
Dari pintu
muncullah si kacamata, si tua, dan lain-lain, yang tak hadir hanya si pendek.
SI KACAMATA
: Ada apa?
SI PECI : Makan tidak
bayar.
SI TUA : Siapa,
pemuda ini?
SI PECI : Ya, pemuda
ini?
SI KACAMATA
: Segagah ini?
SI PECI : Kalau tidak
gagah barangkali tidak berani ia menipu (pada pemuda) Hei, pemuda. Kau punya
uang tidak?
PEMUDA (lama)
Punya.
SI PECI : Nah, kenapa
mesti tidak bayar?
PEMUDA : Uang saya
ketinggalan.
SI PECI : Ketinggalan?
Lebih baik tidak usah berbohong. Kalau bersikeras semua orang akan mengempalkan
tangannya dan darah akan mengotori mukamu nanti. Bayar atau…
PEMUDA : Uang saya
ketinggalan.
SI KURUS : Ketinggalan-ketinggalan.
Sekarang mengakulah. Kau mau menipu ya?
SI PECI : Punya uang
tidak?
SI KURUS : Mengaku.
SI PECI : Kau pasti
tidak punya uang.
SI KURUS : Dan kau
mengaku penipu.
SI TUA : Nah, bilang
saja terus terang, jangan kau sakiti badanmu sendiri.
SI KACAMATA
: Sudah
kawan-kawan, saya yakin dia tidak beruang. Tapi….. Sebab itu lebih baik ia
menanggalkan celananya saja. Kalau memang dia berduit tentu ia nanti boleh
mengambil celananya kembali. Jadi celananya jadi jaminan. Bagaimana?
SI PECI : Ya, lebih
baik begitu, semua orang setuju.
SI KURUS : Tanggalkan
pakaianmu.
PEMUDA : Saya malu.
SI KURUS : Tidak, kau
tidak punya malu. Kau tidak malu makan tidak bayar. Tanggalkan celanamu!
Tanggalkan!
SI PECI : Cepat!
PEMUDA : Saya tidak
pakai celana dalam.
SI KURUS : Bohong, kau
pembohong sebab itu kau pembohong.
PEMUDA : Sungguh
mati. Demi Tuhan, tentang celana dalam saya tidak berbohong. Kalau saya
menanggalkan pantalon saya, saya telanjang. Oh, sungguh saya tidak tahu bagaimana
saya mengatakannya. Dan tentu saja sayapun tak dapat membuktikannya. Percayalah
kalau saya membuka celana, akan telanjanglah saya.
SI KURUS : Sejak tadi
kau sedang menelanjangi dirimu sendiri dan kau diam-diam telah memberi api pada
setiap orang yang telah melihatmu.
Tiba-tiba seorang perempuan juragan batik bersama
pembantu yang memayunginya muncul dan ia tertarik untuk melihat kejadian itu.
PEREMPUAN : (dengan
yang nyata-nyata dibuat-buat ia bicara pada si kacamata) Ada apa to dik?
SI KACAMATA
: Makan tidak
bayar.
PEREMPUAN : Siapa?
SI KACAMATA
: Si pemuda
ini.
PEREMPUAN : O, lalu?
SI KACAMATA
: Mula-mula
dia mau menipu pura-pura akan mengambil uang yang katanya ketinggalan tetapi
agaknya dia berbohong. Sebab itu kami sepakat kalau ia menanggalkan celananya
untuk pengganti uang atau untuk jaminan kalau memang di punya uang.
PEREMPUAN : Berapa tho,
habisnya?
SI KACAMATA
: Berapa dik?
SI KURUS : Delapan
puluh rupiah.
PEREMPUAN : Ah, sedikit.
Baiklah, jangan ribut-ribut. Kasihan. (mengambil uang dari tasnya) Ini Mbok
seratus rupiah.
SI KURUS : Nanti dulu,
Mbakyu. Mbakyu bilang kasihan padanya, sehingga mendorong rasa kasihan Mbakyu
untuk membayarnya. Tidak, tidak, saya tidak tersinggung. Sayapun memang kalau
delapan puluh itu sedikit dan saya juga dapat atau siapa saja masih mampu
memberi, tapi bukan itu soalnya. Kalau Mbakyu kasihan padanya sama seperti
Mbakyu membantu melahirkan seorang bandit di tanah kewalian ini. Saya juga
maklum, apa yang Mbakyu lakukan itu mulia, tapi hal yang mulia juga minta
tempat dan saat yang tepat. Dan sekarang saat tidak minta yang sejenis itu. Apa
yang kami lakukan sekarang adalah juga kemuliaan, meskipun menampakkan
kekasaran dan penghinaan, tetapi ia juga bersama kemuliaan yang diridhoi Tuhan.
Dan jangan lupa saya dan teman-teman di sini atau siapa saja juga mampu kalau
berniat memberi anak pemuda ini uang seratus rupiah, tetapi bukan itu soalnya.
SI PECI : Ya, itu
soalnya.
SI KACAMATA
: Ya.
SI TUA
(mengangguk-angguk)
Tanpa memberi reaksi apa-apa perempuan dan pembantunya
pergi melanjutkan perjalanan.
SI PECI : Sombong
benar perempuan itu.
SI KURUS : Mau buka
celana tidak?
PEMUDA (diam)
SI KURUS : Baiklah,
tadi saya sudah berkata dan saya percaya bahwa kau bukan anjing, karenanya kau
pasti memiliki rasa malu. Baik, sekarang bajumu saja kau tanggalkan.
SI PECI : Ya, baju
saja.
SI KACAMATA
: Ya, baju
saja.
SI PECI : Ayo cepat.
SI TUA : Nah,
sebentar lagi kalau mata orang-orang di sini copot dan melotot, maka gemparlah
di muka pabrik ini, sebab ada seorang pemuda yang dipukuli ramai-ramai oleh
orang banyak.
PEMUDA : Saya
melepaskan baju saya, Pak!
SI KURUS : Lepaskan!
PEMUDA : Saya tidak
berkaos.
SI PECI : Tak perduli.
Tanggalkan.
SI KURUS : Malu, malu!
Priyayi kamu? Ha? Tak berkaos malu, tapi berani menipu. Laknat kau ini. Penipu
bagi dirimu sendiri! Lepaskan!
PEMUDA : Saya akan
melepaskan tapi bukan baju melainkan sepatu.
SI PECI : Sepatu kain
yang jebol itu? Kau telah membuat dagelan yang lebih menjengkelkan lagi tau?
SI KACAMATA
: Ya, satu
rupiah tak akan ada orang yang sudi membeli sepatu abunawas itu.
Tiba-tiba terdengar gemuruh suara truk. Mendekat dan
berhenti tidak jauh dari tempat itu.
SI KACAMATA
: Nah, pak
sopir datang. Biarlah dia yang membereskannya biar tahu rasa kalau nanti
lengannya sudah dikilir oleh pak sopir.
SI SOPIR : Ada apa hah?
SI PECI : Makan tak
bayar.
SI SOPIR : Si kecil
ini?
SI KACAMATA
: Ya, si kecil
ini.
SI SOPIR : (pada
pemuda) Oo, sudah kenyang, hah? Terlalu pagi. Matahari masih terlalu rendah
untuk dikhianati. (pada si peci) Lalu, akan kita apakan dia?
SI PECI : Ia harus
menanggalkan bajunya.
SI SOPIR : Begitu
semestinya. Lebih baik makan baju daripada makan tidak bayar, bukan? Lalu?
SI PECI : Ia menolak
melepaskan bajunya.
SI SOPIR : Itu tidak
adil, ia bisa menolak untuk telanjang badan tapi ia makan tanpa bayar
seenaknya. Itu tidak adil. (pada pemuda) He, anak muda. Kau pemuda Indonesia,
bukan? Tidak, jangan mengangguk! Kalau kau meng-iya-kan pertanyaan saya kau
sama dengan mengatakan bahwa pemuda Indonesia itu dibolehkan makan di warung
tanpa bayar. Tidak, tanah ini akan menangis mendengar cerita itu. Dengarkan!
Dulu waktu sehabis perang saya juga pernah menjadi pencopet, tanpa perduli
lagi. Tapi malang rupanya tangan ini terlampau kasar sehingga tangan ini lebih
suka diborgol, dalam penjara. Nah, di tempat yang sepi itu aku mengakui bahwa
aku telah menyakiti orang, menyakiti hati dari tanah yang kita cintai ini dan
pasti Tuhan akan menutup pintuNya bagi orang semacam aku. Sebab itulah setelah
aku keluar dari rumah yang baik dan mulia itu, kemudian aku menjadi lebih
maklum bahwa kita tak boleh berbuat jahat. Tidak, jangan. Tapi dengarlah lagi!
Kau tahu, kalau kau berjalan ke arah barat dari arah sini kau akan sampai pada
sebuah perempatan, di mana berdiri beberapa batang pohon beringin. Kau tentu
sudah tahu di belakang pohon beringin itu berderet asrama. Dan kau tahu asrama
apa itu? (lama) Asrama Polisi! Nah, kau suk kuantarkan ke asrama itu?
PEMUDA (diam)
SI SOPIR : Suka! Tentu
tidak, ya? Nah, copot bajumu!
PEMUDA : Saya malu.
SI SOPIR : Jangan
malu-malu (keras) copot!
Pemuda
menanggalkan bajunya pada si peci.
SI PECI : (menyerahkan
baju kepada Simbok) Simpanlah baju ini Mbok. Nanti kalau ia kembali membawa
uang berikan baju ini.
SI SOPIR : Beres sudah!
Ayolah, kita bekerja sekarang. Habis waktunya terbuang.
Orang-orang pergi, masuk ke dalam pabrik. Kecuali si
sopir yang pergi ke arah dari mana ia muncul tadi. Tapi belum lama dua langkah
orang-orang bergerak tiba-tiba….
SI KURUS : Saya kira
kalau baju itu disimpan Simbok sekarang niscaya kurang aman. Lebih baik baju
itu dititipkan pada Abduh yang kerjanya dekat jendela.
SI PECI : Baiklah,
Mbok, saya membawa bajunya ke dalam. Kalau ada apa-apa panggillah saya.
(menerima baju)
Beres sudah……orang-orang sudah mulai bekerja, di
halaman ada simbok dan si pemuda. Gemuruh mesin kembali nyata. Lewat seorang
perempuan menjajakan jenang gendul. Sangat nyaring suaranya.
PEMUDA : Mbok,
mula-mula maksud saya tidak akan menipu. Sesudah dua hari ini saya hanya minum
air mentah saja. Tidak makan apa-apa.
SIMBOK (diam)
PEMUDA : Seminggu
yang lalu saya masih di Klaten, bekerja di sebuah bengkel. Ya aku tidak cukup
dapat makan. Sebab itulah aku mencari pekerjaan di sini.
SIMBOK (diam)
PEMUDA : Asalku
sendiri dari desa, desa yang wilayahnya di gunung kidul, Wonogiri. Juga Mbok pun
tahu tanah macam apa yang menguasai tanah macam gunung kidul itu. Tanah tandus.
Tanah yang tidak mengkaruniakan buah bagi mulut yang papa. Sebab itulah aku
turun dan mengembara sampai ke pesisir utara ini. Tapi jarak selatan sampai ke
pesisir utara tidak juga memberikan apa-apa. Karenanya aku terus menyusuri ke
Barat, ke tanah wali ini, dengan harapan tanah serta rumah di kota ini akan
sudi memberi makan saya. Tujuh hari sudah saya disini dan dua hari sudah saya
lapar. Dan pada hari ketiga kelaparan saya membawa saya kemari ke tempat Mbok
berjualan pecel. Tidak, saya tidak bermaksud menipu. Sekali-kali tidak
(menengadah) Tuhan, kutuklah aku!
SIMBOK : (bangkit dan
bergerak menuju jendela dan berseru) Abduh! Abduh!
SI PECI :
(di jendela)
Ada apa Mbok?
SIMBOK : Mana baju
tadi?
SI PECI : Dia membawa
uang?
SIMBOK : Tidak, baju
itu akan saya bawa ke pasar, saya jual.
SI PECI : Nanti
direbut oleh anak itu lagi.
SIMBOK : Tidak,
kemarikan saja.
SI PECI : Baiklah
(lenyap dari jendela, kemudian Simbok menerima baju tadi lewat jendela)
PEMUDA : Ya, Mbok
sebelum saya memesan nasi pecel tadi saya sudah berjanji pada diri sendiri,
tidak, saya harus membayar! Entah kapan saja tapi harus bayar. Demi Allah,
hukumlah saya. Ya, Mbok kalaupun saya pergi tak kembali kesini atau kapan saja
saya pasti kemari untuk membayar makan saya. Ibu saya mengajarkan kejujuran dan
hukum bahwa, bekerja artinya tenaga, bahwa bekerja artinya makan. Hal itu
kusadari sejk aku mulai tahu bahwa tanah tempat saya berpijak sangat keras,
begitu angkuh dan tandus.
SIMBOK (memberikan
baju tanpa berkata apa-apa)
PEMUDA : Tidak
Mbok, bukan maksud saya minta dikasihani, saya hanya ingin menceritakan dan
saya hanya ingin mengatakan bahwa hati saya bersih. Terhadap baju itu sudah
rela dan paham bahwa barang itu patut saya berikan pada Simbok sebagai ganti
makanan yang telah saya makan.
SIMBOK : Terimalah.
PEMUDA : tidak.
SIMBOK : Terimalah.
PEMUDA : tidak.
SIMBOK : Terimalah.
PEMUDA : Mbok
percayalah.
SIMBOK : Saya percaya
sebab itu kau harus mau menerima baju kembali.
PEMUDA : Tapi baju
ini bukan milikku lagi. Ibu bilang aku tidak boleh memiliki barang kepunyaan
orang lain. Tidak… Ada air mata di mata Simbok.
SIMBOK : Tidak.
PEMUDA : Saya tidak
tahan melihat orang menangis, meskipun ibuku senantiasa menangis setiap malam.
Dan sekarang hanya tinggal tangisnya belaka sebab itu telah lewat. Simbok
kasihan pada saya lalu menangis? Tidak!
SIMBOK : Tidak, saya
ingat anak saya.
PEMUDA : Simbok punya
anak?
SIMBOK: Ya,
satu-satunya, jantan yang cantik.
PEMUDA : Dimana
sekarang?
SIMBOK : Di sini.
PEMUDA : Di sini?
SIMBOK: Di Kendal.
Di PENJARA.
PEMUDA : Ha?
SIMBOK : Ya, sayapun
tak pernah menyangka, anak saya itu akan menjadi pencuri sepeda. Tidak, saya
cukup memberi ia makan. Tapi barangkali disebabkan pergaulannya atau barangkali
saya salah mengajar atau mendidik dia atau…..atau…..atau…. Oh, saya tidak tahu.
Tapi aku tahu dan percaya matamu lain dengan matanya. Saya melihat matamu
bening, sebab itu saya yakin kau tidak seperti anak saya. Kau seperti kemenakan
saya. Kau pasti…Kau pasti anak baik. (tiba-tiba) Akh, cepat terimalah baju ini
dan segeralah kau pergi dari tempat ini sebelum penjaga malam sampai kemari.
PEMUDA : (menerima
baju itu) baiklah. Terima kasih dan selamat tinggal Mbok.
Begitu ia lenyap, muncul penjaga malam yang tampak
baru selesai mandi. Ia tampak kedinginan.
PENJAGA
MALAM : Minta pecel
yang pedes (kedinginan). Katanya tadi ada pemuda yang mau menipu?
SIMBOK : (tak
begitu acuh) Ya.
PEMJAGA
MALAM : Bagaimana
tampangnya?
SIMBOK : Kurus dan
cantik.
PENJAGA
MALAM : Pakai baju
lurik.
SIMBOK : Ya, kalau
tidak salah.
PENJAGA
MALAM : Bajigur!
Bajigur! Kurang ajar dia. Tapi dia tak jadi menipu di sini bukan? Kemana ia?
Jangkrik anak itu! Belut!
SIMBOK : Ada apa? Ada
apa?
PENJAGA
MALAM : Pasti dia.
Kemarin malam dia juga menipu di sebuah warung di pasar Kauman.
SIMBOK : Haa….?
(menelan ludah) Ya, Allah.
Langit di atas mulai kotor oleh nafas manusia dan lalu
lintaspun mulai lebih ramai. Seorang anak laki-laki menjajakan es lilin lewat,
tanda hari sudah siang. Suaranya nyaring, menyembul di sela-sela kesibukan.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar