Newest Post

// Posted by :Unknown // On :Selasa, 10 Juni 2014



Mengalihwahanakan Cerpen Menjadi Naskah Drama


Menulis teks drama pada dasarnya menulis teks cerita untuk didioalogkan di atas pentas. Karena tujuannya untuk pentas, teks drama dibuat dengan menggunakan bahasa keseharia yang telah dipadukan dengan estetika
Dalam teks drama selain berisi dialog yang diucapkan para tokoh juga berisi teks petunjuk bagi pemain. Teks peunjuk ini berisi cara bagaimana sang actor mengucapkan serta kapan mengucapkan, beserta lakuan seperti apa yang mengikutinya. Jadi sebenarnya dialog dalam teks drama sudah disertai aturan pengucapannya. Namun demikian, tekhnik pengucapan dalam drama tentu menyesuaikan karakter tokoh, alur, serta suasana dialog yang melatari cerita. Saat menulis naskah drama, pengarang harus memikirkan duan hal, yaitu:
1.       Wawancang (percakapan)/teks utama, yaitu bagian yang diucapkan (dialog) para pemeran drama.
2.       Kramagung (teks samping), yaitu bagia yang berada di belakang dialog dalam tanda kurung. Kramagung berisi petunjuk tentang gerakan yang harus diperagakan tokoh yang mengikuti dialog yang diucapkan.

Selain itu, pengarang juga harus menyusun cerita dalam episode, babak, dan adegan.
a.       Babak adalah bagian besar dari suatu lakon dalam darama yang terdiri dari beberapa adegan (lakon)
b.      Adegan adalah bagian babak dalam drama.
c.       Episode adalah seri cerita atau peristiwa cerita yang seolah olah berdiri sendiri.
Sebelum mengubah cerpen menjadi naskah drama ada beberapa hal yang perlu dilakukan diantaranya adalah sebagai berikut.
1.       Membaca cerpen secara keseluruhan
2.       Mengidentifikasikan tokoh dalam cerpen serta perwatakannya.
3.       Memberikan prolog pada setiap adegan.
4.       Menentukan latara.
5.       Menggolongkan dialog disesuaikan dengan tokoh yang berbicara.
6.       Menentukan topik dan inti cerita.

Untuk lebih jelasnya, langsung saja Anda aplikasikan langkah langkah diatas dengan memulai dari cerpen di bawah ini 

Judul Cerpen: Ngibul

Oleh: Asa Mulchias
Ababil Nayla –atau biasa dipanggil Bince –dari silam hingga kontemporer, senang pakai wig. Tepatnya, sejak Diva music pop Indonesia, Krisdayanti, memperkenalkannya kembali ke dunia mode lewat sebuah iklan pembalut wanita. Yang bunyinya something about higienis gitu. Bince yang tergila gila memakainya. Bukan karena rambut Bince jelek, tapi memang murni karena suka.
                Dari yang sintesis sampai yang “asli”, dari yang model ngebob –alias trondol –sampai yang panjangnya amit-amit 13 generasi, dari yang warnanya kalem sampai yang bikin ehem, dia koleksi! You should see her room; kalian harus lihat kamarnya. Penuh. Mungkin ada seratus ambut palsu lebih nongkrong di sana. Bince sayang. Karenanya, dia tidak terlalu peduli ketika teman-temannya –yang kadang mampir ataumenginap di akhir pecan –kerap menyebut kosaanya sebagai tempat segala macam rambut di dunia ini bermula.
                “Jeeeee, boodoo!”
                “Ih, dibilangin malah sewot. Harusnya ditampung dulu, dong, ide gue.”
                “Waduuuk kali ditampung segala!”
                “Yo, wis. Up to you.”
                Bince tekan tombol perisai anti saran. Teeet; teman-temannya juga sudah bosan. Tak punya energy membujuk lagi. Walau sebenarnya nasihat mereka itu Cuma sekedar “merapikan” kamar , Bince tak pernah menggubris. Cuek gitu. Masuk kuping kiri, keluar kuping kiri juga. Mental. Terpelanting ke galaksi sebelah; Magellan Cloud, apa kabar? Habis, mau bagaimana lagi? Bince sudah kasmaran berat sama koleksi wig-nya. cintaku sedalam samudraaa….setinggi langit di angkasa…. Kepadamuuu…. Begitu Bince mengungkapkan perasaannya lewat lagu. Gigi Ahmad Dhani (featuring Agnes Monica) boleh kering, deh. Lagu satu itu memang sudah resmi jadi mars Bince kalau ada yang menanyakan padanya seberapa “cinta mati” sih Bince pada kumpulan rambut gombal punyanya.
                “Dirapihin kan bukan berarti dibuang, Bin.”
                “Iya. Dimasukin lemari atau laci, kan lebih baik daripada wig elu dibiarin ngampar dimana mana begini.”
                “Gue setuju, Bin, sama yang lain. Setiap kali gue berkunjung kemari, tuh wig ada di seluruh penjuru ruangan. Di sedut sebelah kanan, wig yang elu bilang era tujuh puluhan. Di pojok sebelah kiri, gaya metropolis. Samping depan, wig yang pertama kali elu beli. Nah, yang di belakang gue, rambut sintesis andalan elu tahun kemarin. Itu belum termasuk yang di sebelah barat day ague, bagian tenggara, timur laut, barat laut, di atas kasur, di dekat cermin rias…”
                “Yaaa, suka-suka gue, dong, Wiek. Ini kos-kosan kan gue yang bayar.”
                “Iya, ssiihh.”
                “Nah, itu elu ngerti.”
                “Tapi Bin, seiap kali gue pulang dari sini, mata gue isinya jadi rambut semua. Mending sembuhna pas keluar dari kos-kosan elu. Serin malah kebawa sampai rumah, tahu!”
                “Itu sih, De-El, Wiek. Derita Lu, qe-qe-qe.” Bince ngikik mirip oma-oma. Nyebelin!
                Begtulah. Bince tak akan pernah sudi menaruh wig-na di dalam lemari atau dalam laci. Selain takut rusak, Bince nggak mau repot. Pasalnya setiap hari, setiap kali bangu tidur, melihat seraya memahami antologi wig miliknya –lalu memakainya dalam beraktivitas –adalah kudu ‘ain bagi cewek keahiran Meruya, 26 tahun silam itu. kalau nggak, Bince pasti measa ada yang kurang. Entah itu tulangnya jadi kurang tega (gampang pegal), darahnya yang berkurang (anemia), atau otaknya yang mumet (gejala sakit kepala). Bince sama dengan wig. Wig sama dengan Bince. Tak terpisahkan, selamanya.
                Cintaku sebesar dunia…. Seluas jagad raya ini… kepadamuuu…
                Gile ngak, tuh?


                Syukurlah, Bince tak pernah mendapat masalah di kantor. Tidak seperti teman-temannya yang berkerudung tebal en rapat, rambut palsu Bince tak pernah diributkan atasan. Meski jelas-jelas diskriminasi, tak ada yang berhasil menyadarkan jajaran direksi. Mau demo sampai keluar kentut setan juga, nggak bakalan sukses. Heran. Untuk kasus-kasus semaca ini, Komnas HAM kok lama banget, ya, turun tangannya?
                Senja ini bince mau pakai wig yang nge-pink abis. Maklum, ada pesta karnaval yang harus dihadirinya. Tepatnya di rumah sohib lama BInce, Queen. Tuh anak masih freak rupanya. Dari jadul, ide pestanya aneh- aneh saja. Putri kelima dari enam bersaudara konglomerat, Skiran Ojongno –milyuner yang berhasil berjualan es cendol skala internasional –itu memang suanya bikin peta. Semasa sekolah, Bince lumayan karib dengannya. Selepas SMA agak agak meredup karena Bince tenggelam dalam rutinitas kerja. Deeuuuhh… meredup. Bohlaaam kaleee!
                “Binceee!”
                “Queeen!”
                Saling terpekik, mereka bertemu di sbuah pusat perbelanjaan di daerah Jakarta Barat, malam minggu kemarin. Nah, saat itulah Queen menyampaikan undangannya.
                “Pokonya elu harus datang!”
                “Ada dresscode nya nggak, Queen?”
                “Ada/ elu asih tanya ada atau enggak? Pleaseee, deh, Bin! Gue gitu loh!”
                “Apa?”
                “Bla..bla..bla… be there, ya..?”
                “Oke. Mulai am berapa?”
                “Tujuh malam. Rencananya gue juga mau ngundang temen-temen seangkatan kita. Sekalian reunion gitu. Kangen berat, niihhh.”
                “Siiip!”
                Jadlah sore itu Bince berdandan habis-habisan. Baju pink, rok pink, sepatu pink, sarung tangan pink, dan of course… wig warna pink. Bahu lebi sedikit. Keriwil pula. Untung Bince badannya agak berisi. Kalau enggak, pasti orang-orang menyangka kalau yang keluar rumah minggu sore itu si pinky boy, salah satu jelmaan paling tekutuk Aming Extravaganza.
                “Haaai!”
                “Eh, Bince! Apa kabar? Masih doyan nge-wig rupanya?”
                “Iya lah, sedri tahun atu gue udah proklamir ke orang orang bakal jadi lady of all wigs, hi-hi-hi!”
                “Nggak sayang sama rambut asli elu, Bin? Denger-denger kalu keseringan paki wig, rabut bisa rusak, betul nggak sih?”
                “Hmmm… bener, sih. Tapi, kalau gue pengen, gimana, dong? Lagian, rambut gue nggak indah-indah amat. Ngapain juga ditunjukin.”
                “Jadi kalu indah, bakal elu pamerin, Bin?”
                “Ngg… enggak!”
                “Dasar.”
                “He-he-he… eh, by the way, music udah manggil kita tuh. Joget yuuk!”
                “Yuuukk!”
                Pesta merangkak gila-gilaan. Seru! Apalagi sebagian bear orang yang datang ke pesta Queen, nBince kenal. Semua berpakaian sesuai orderan. Ada yang berkostum sebagai The Joker—musuh nomor wahid si manusia kampret, Batman; ada yang bergaya wonder women—lengkap de4ngan tali lasso dan kostum ketat kedap malu berlurik Amrik; ada pula yang dengan bangga berpenampilan seperti perempuan—padahal aslinya laki-laki. Setelah dicek, orang itu ternyata Junaedi, playboy cap majalah lecek zaman putih abu-abu. Lho? Kok mantan playboy memilih kostum jadi wadam begitu, ya?
                “Strategi!”
                “strategi?”
                “Kalau ge dandan begini, gue kan bisa colak colek cewek semau gue!”
                “Ooooh, gitu. Kayak tessy Srimulat, dong.”
                “Iya. Keren, kan?”
                “Banget. Belis banget maksud gue.”
                Semua orang bersuka cita. Selain melepas rindu, pesta Queen kali ini bertaburan aneka kesenangan. Lagu disko, ramuan music Dj, dan entakan kaki-kaki yang menari. Termasuk Bince. Dia sudah lama tidak s4enang seperti ini.itulah sebabnya ketika jam menunjukkan pukul 11 malam, muka Bince menekuk dengan sendirinya.
                You must promise me to make this kind of party next time, Queen.”
                “definitely, Bin.”
                “Hmm… how about once a month?”
                “Sound’s great!”
                Bince pamit. Menyetop taksi, meluncur pulang ke kos-kosannya. Biar masih menyewa rumah—lebih tepatnya; kamar—dia tidak boleh kelihatan kere di depan teman-temannya. Selain gengsi dan alokasi dana untuk beli wig, tak ada agi sebenarnya yang menghalangi Bince dari apa yang namanya memiliki uang banyak. Dia boros, dan itulah penyakitnya ang palin kronis.
                Sampai di kos-kosan, Bince memijat ringan lehernya. Kakinya juga. Wah, lelah juga. Sepertinya Bince harus segera membaringkan tubuh, memejamkan mata. Secepatnya memasang dua sayap pegasusnya, lalu terbang kea lam mimpi; beristirahat—kalau perlu sampai ngorok. Besok, hari senin yang membosankan sudah menanti.
                Begitupun pekerjan-pekerjaan accounting-nya yang berderet-deret, memenuhi pos-pos diantara pukul 17:00. Kendati sudah ada software khusus yang membantu Bince (bukan Cuma Microsoft Access, lho!) tetap ssaja rasanya menjengkelkan.
Bince bangkit dari tempat tidur. Dia harus ganti baju dulu, cuci muka dulu, lepas wig dulu. Seedan edannya Bince sama barang satu itu, dia tak akan memakainya saat tidur. Dengan sau gerakan, wig itupun terlepas dari kepalanya.
                Tep. Nyosssh….
Hening.setidaknya begitu sampai Bince menangkap bayangannya sendiri di dunia cermin. Deg, dadanya cellos; jantung injak rem mendadak. Ngiiik! Belalak mata dan menganga mulut menyaksikan sosok Bince dalam bayangan. Dia sungguh berharap ini halusinasi, kecemaan tak beralasan, atau hanya lelucon saja—entah mimpi atau sihir belaka. Dikuceknya mata beberapa kali, tapi bayangan di cermin tak juga berganti. Bayangan dirinya yang terperanjat, tersentak, dan… gundul!
                Astaga, Tuhaaan…, rambut Bince lenyap kemana?!!

“Pagi, Bince.”
“….”
“Bince?”
Sosok itu ngibrit. Penyapa bengong. Idih, kenapa tuh cewek?
Sepanjang hari ini, BInce selalu menghindari orang lain. Sapaan, teguran, berbicara, atau bertatapan.Bince emoh dilihat. Dia selalu melengos, menunduk, atau yang paling bin orang lain gondok,: kabur. Tanpa penjelasan; tanpa ba, tanpa bi, atau tanpa babi sekalipun. Jam istirahat; di luar matahari tegak di atas kepala. Semburat garang. Memancar bagai jarum-jarum yang menusuk lotion anti pemutih. Bince masih setia di depan komputernya.menyimak nanar layar computer yang diselimuti screen saver air terjun. Bergerak-gerak, seperti hidup. Teknologi canggih. BInce paling senag melihat akejadian sepert itu. tak jarang dia men-download program-program lucu dari internet untuk membuat komputernya tambah imut dari hari ke hari. Contohnya, binatang-binatang animasi; burung madu yang berterbangan di layar monitor, anak anjing yang menjulur-julurkan lidah sambilmenggerak-gerakkan ekor, atau semacam gambar-gambar Hello Kitty yang di-plot seperti tampilan power point. Slide-show.bergantian. tapi, kini tidak. Setidaknya hari ini. Bince tak ingin melakukan hal-hal macam itu. kepalanya penuh dengan satu hal. Hal lain, harap minggir. Mingiiir!
Sejujurnya bukan mau Bince dia jadi tak mau ramah pada oran-orang. Tapi kalau Bince ingat apa yang menimpa rambutnya sejak semalam, hancurlah hatinya. Remuk dan tak karuan. Beneran! Cewek manasih yang bisa tenang-tenang saja kalau rambutnya raib tiba-tiba? Tanpa bekas, tanpa jejak,tanpa petunjuk semata kutil sekali pun. Aneh, dan tidak mungkin terjadi—tapi terjai. Boro-boro tidur, Bince lebih suka sibuk mencari kemana rambutnya menguap.
Benda pertama (dan terakhir) yang diacak-acaknya adalh wig merah muda pembawa bencana. Diubek-ubek, direka-reka, sampai dipelototin. Hasilnya: nihil—tentu saja. Taka ada sehelaipun rambut Bince yang ngumpet di sana. Seolah blep, hilang—seperti debu-debu yang tergerus milk cleanser. Ditelan rambut palsu warna pink itu.
Akhirnya, beberapa kali Bince terperanjat histeris. Dia menangis, teriak, menjerit, atau memukul-mukul dinding. Ininasib merek apa sih? Mengamuk. Gaduhnya terdengar sampai ke kamar kos yang lain. Saat ada beberapa orang yang megetu kamar utuk sekedar mengatakan “ssshh” BInce buru-buru mengenakan salah satu wig-nya, membuka pintu, dan langsung minta maaf. Tak menjelaskan apapun yang bisa dijelaskan. Pun orang-orang tak berminat untuk mengetahui lebih jauh kronologis mengapa Bince sampai ribut sendirian. Ngantuk. Masih pukul 01:00.
Setelah orang-orang pergi dari hadapannya, gadis itu sedih kembali teronggok di atas kasur. Enangis lagi, sedih lagi. Bedanya, kali ini volume-nya dikecilkan sedikit. Stress; sampai-sampai, dalam kekalutannya yang sangat, Bince mencoba memakai wig pink di atas kepalanya dan berharap rambutnya—yang lurus asli nggak paki nyogok itu—akan kembali saat wig-nya dicopot.
Sekali coba. Kosong.
Dua kali. Sama juga.
Tiga, empat, lima…, percuma. Bince tetap pelontos. Mau sedih terus, tapi geli. Mau geli, tapi pengennya sedih lagi. Walhasil, Bince masih botak sampai pagi. Buktinya, kepalnya sempat berembun.
“Bin, elu kenapa sih? Seharian gue liatin, sendu meluu bawaanya. Ada masalh, ya?”
“….”
“Bin? Ngomong, dong. Mungkin gue bisa bantu.”
“….”
“Ya, udah. Kayaknya elu pingin sendirian, ya. Sori, deh. Tapi sebelum pergi gue Cuma pngibilang: nanti BOs besar mau datang. Rapat orang akunting, yang katanya diundur, nggak jadi. Hari ini kita tetap meeting. Jam 2 nanti ke ruang rapat, ya. Usahakan jangan mendung terus, oke?”
“….”

Bince bicara sedikit sekali pas rapat. Tapi, atasan tidak curiga. Porsi bicara Bince memang tidak erlalu banyak. Rapat berjalan mulus-mulus saja.
“Mbak… Mbak?” seseorang anak kecil memanggil Bince pasca rapat. Bince tak berselera menjawab. Anak kecil memanggilnya lagi, tapi Bince terus saja menuju tangga; straight ahead. Lantai tiga, lurus lurus kembali ke cubicle-nya. masa bodo. Meski yang memanggilnya itu adalah Susi, anak dari Bos yang baru saja menagihnya beberapa laporan akunting, dia sungguh tidak peduli.
“Bin, dipanggil Susi tuh.”
“....”
“Bin, let me tell you something: kalau hari ini elu bête, elu boleh cuek ke semua orang—termasuk gue. Tapi, untuk susi, please… for your own sake… jangan cuek begitu. Tau sendiri kan adat anak satu itu. banyak maunya, tapi harus diturutin semua. Mending kalau bapaknya tegas…”
“….”
“Bin!?” sekelebat mirip bentakan.
“….”
“Mbak?”
Wiwiek dan Bince menoleh ke sumber suara. Di belakang mereka, susi berdiri dengan mata berbinar binar. Tangannya menunjuk-nunjuk kea rah kepala Bince.
“Itu… itu wig, nya?”
Bince melempar muka kearah lain. Huh, want to knooow aja!!! Benci direpotkan anak badung satu itu. apatis. Wiwiek kembali menasehati. Keduanya luput memperhatikan susi. Bocah perempan menyeringai. Kesempatan!
Hup, tep!
Nyosss…!
Kepala Bince sejuk. Adem gitu. Susi teriak-teriak kegirangan. Berlarian sepanjang koridor kantor. Teriak-teriak seraya menenteng wig Bince.
“Tante botak pake rambut palsu… Tante botak pake rambut palsu…,” umum Susi pada semua orang. Orang orang serempak mengalihkan pandangan. Bince hanya mampu berdiri terpaku—sebelum ending-nya menhambur mengejar Susi. Menjerit, memekik, menyisir suara lain—yang sekiranya ada. Menangis. Orang orang ingin menolong menghentikan tontonan gratis itu, tapi terlanjur ngakak di lantai atau menyekaair matasambil terus saja terpingka-pinhkal; susah betul berhenti.
Susi terus berlari. Kali ini melewati front desk pintu utama kantor, dan tiba di lapangan parkir.lalu, entah dapat wangsit dari mana, Susi pun melempar wig Bince ke tengah jalan. Terlidas kwk, bus, taksi, dan puluhan mobil pribadi. Hancur, berantakan.
Ahhh, Susi…  Susi. Gadis cilik itu memang badung, memang ahat. Tapi, apa mau dikata? Namanya juga anak-anak.

Ini wig kesekian. Wig kesekian yang Bince potong-potong semaunya. Pendek sebelah, panjang sebelah, bahkan ada wig yang jadinya pitak-pitak. Tragis! Semuadi gunting dengan rahang mengeras dan mata nan memmerah—sampai beberapa jari Bince sempat terluka cukup parah. Kalian harus lihat betapa berantakan kamar Bince sekarang. Penuh dengan helai-helai rambut palsu disetiap jengkal lantainya.Warna-warni. Colour full. Tak ada wig yang tak hancur. Tak ada yang tak merana. Habis segala.
Yang tersisanya hanya siwig merah muda.
Mata Bince memincing. Ini dia wig kutu kupret. Wig yang darinya berawal semua masalah. Masalah yang melucuti harga dirinya, mentalnya, kebahagiaannya. Wig yang mengambil cintanya dari wig yang lain. Wig yang mengambil rambut aslinya…
Rasakan!
Adegan penuh kekealan dimulai lagi. Durasi lumayan cepat. Potong sana, potong sini! Gunting sana, gunting sini! Sama tidak sama. Rata tidak rata. Peduli amat! Hancur saja. Bince senang. Puas! Setelah wig itu amburadul, Bince melemparnya ke lantai. Meludahinya.menginjak-injaknya. Mendengus-dengus.
Mampus! Mampuuus!
Par-paru terengah. Di luar, jangkrik terderik ramai.
Bince tercenung sejenak. Berdiri, berpikir dan berharap pada paragraph yang sama. Runtuh, tergugu,namun masih berusaha untuk tegar. Tangguh, walau lebih rapuh dari wanita manapun saat ini. Oh, Tuhan…  apakah dengan menghancurkan semua wig koleksinya, rambut aslinya akan kembali? Akankah?!
“Bin, selain nggak sehat, gue sempet denger kalau cewek yang suka menyambung rambut itu susah masuk surganya, lho. Elu nggak ngeri?!”
“Ngeri?” mulut mencibir,remehkan. “Ngapain musti ngeri? Gue kan pake wig, bukannya menyambung rambut!”
“Jeee, kata ustadz iu sama aja lagi, Bin!”
Waktu itu, Bince menyepelekan masalah; seperti biasa. Hadist atau ustadz ‘kan bukan Britney Spears—yang lagunya kerap Bince lantunkan saat di kamar mandi atau dalam perjalanan. Jadi, buat apa didengar? Bikin susah! Lagian, dosanya segede apa, sih? Paling sedkit. So, santai aja. Nanti taubat kan beres.
Teman Bince (sebut saja namanya Cinta) mengibaskan kepala. Hati hati, pesannya terhadap Bince. Bince tidak pernah mengerti pesan itu, sampai mala mini.
Takdi aneh, ayolah… berhentilah bersenda gurau. Berhentilah bermain main, batin Bince harap- harap cemas. Ide ide memakai wig pink lalu menanggalkannya, terlintas kembali. Ya, mungkin saja ide itu akan berhasil sekarang. Mungkin. Mungkin saja. Nothing to lose. Kalau hal paling tidak mungkin saja telah terjadi, apa susahnya satu hal tidak mungkin terjadi lagi?
Bince mengambil wig merah jambu itu. yang terkapar di lantai, yang telah compang-camping. Mengenakannya. Beberapa lama. Beberapa menit. Setelah dirasa cukup, tiba saatnya untuk dilepaskan. Peasaan Bince berdebur keras. Berdegup—tidak pernah secepat ini sebelumnya. Inilah satu-satunya detik dia mampu berharap, dan punya keyakinan yang kuat harapan itu akan jadi kenyataan; asa agar kepalnya ditumbuhi rambut lagi, dalam hitungan kejap. Bince mengira, Tuhan sudah berhasil membuatnya membenci rambut palsu. Ya, kini dia ingin sekali rambut aslinya kembali. Kalaupun suatu hari nanti harus ditutupi sesuatu, Bince lebih suka memakai jilbab saja; sesuatu yang sebenarnya Tuhan perintahkan, tapi belum mau (catat: belum mau, bukan belum sanggup) dia lakukan.
Bince memejamkan mata. Dua tangannya siap menanggalkan wig di kepalanya. Tinggal tunggu hitungan mundur, semuanya akan terjadi. Bibir Bince komat-kamit. Berdoa dua puluh rius. Munajat kusuk sekali.
Tiga… dua… satu…
Hup!
Huphg!
Huftt!
Huuuftth!
Akhhhhhtt!
Aaaaafffthhh! Aaaffftkh!!!
Celaka. Wignya nggak bisa dilepas!
  
Cobalah mengonversikan cerpen diatas! Kalau sudah, cocokkan pekerjaan Anda dengan naskah drama yang ada di bawah ini. Semoga sukses! J
MENGONVERSIKAN CERPEN KE DALAM NASKAH DRAMA










Judul: Ngibul
Karya: Asa Mulchias
Pengarang Naskah Drama: Siti Fatimah Roba’ah (X-IBB/11)



Babak 1
Setting: Di kamar kos Bince
Uwik      : “Ya ampuuunnnn Bince! Dirapikan dikit kenapa sih.. nih rontokan wig lo nempel di jins gue tau!”
Deri        :“Iye nih, dirapikan kan bukan berarti di buang Bin, sekali sekaliii aja, wig elu tuh disimpen yang rapi di lemari kek, minimal kalau gue lagi nginep di sini.”
Bince     :“yeee bodo amat, suka suka gue dong, ni kamar yang bayar gue, jadi terserah gue dong mau bikin kamar gue kayak apa. Tempat segala macam rambut di dunia ini bermula. Gitu kan yang ada dipikiran kalian? Nggak apa apa kok… julukan itu lumayan bagus
Uwik      :(menghela nafas panjang) capek gue ngomong sama elo. Manusia kepala batu!”
Deri        :“harusnya Bin, saran gue ditampung dulu kek, jangan malah sewot kalo dibilangin.”
Bince     :“waduukk kali, ditampung dulu.
Deri        : “dimasukin kelemari atau laci itu bakalan lebih rapi, aman dan nyaman tau, para wig kesayangan elo itu bakalan marah besar kalo tau tuannya males menaga benda kesayangannya! Bisa bisa elu kena kutukan, Bin!!”
BInce     :“huahahahaha… ada-ada aja lo!
Uwik      :“gue setuju sama Deri. Setiap kali gue berkunjung ke rumah ini, tuh wig ada di seluruh penjuru ruangan.di sudut sebelah kanan, wig yang elo bilang era tujuh puluhan. Di pojok sebelah kiri, gaya metropolis. Samping depan, wig yang pertama kali elu beli. Nah, yang di belakang gue, rambut sintesis andalan elo tahun kemarin. Itu belum termasuk yang ada di sebelah barat day ague, tenggara, barat lat, timur laut, samping kasir, bawah lemari, ujung kulon, dekat cermin rias…”
Bince     :“Uwik sayang, kan udah gue bilang, suka suka gue dong, wik, ini kan kos kosan gue yang bayar.”
Uwik      :“iya siihh.”
Bince     :“Nah, itu lo ngerti
Deri        :“Tapi Bin, setiap kali gue berkunjung ke sini, mat ague tuh isinya wig melulu. Setiap kali pulang dari rumah ini juga rasanya kebayang baying terus. Mending sembuhnya pas keluar dari kos kosan elo. Sering malah kebawa sampai rumah tahu!”
Bince     :“itu sih De-El. Derita elo, hehehehee.”
Babak 2
Setting :Pusat perbelanjaan, daerah Jakarta Barat.
Queen  :“Binceee!!!”
BInce     :“Queeeennn!”
Queen  :“Gila, rambut elo oke banget! Gue hampir aja pangling. Gimana kabarnya?” (mencium pipi kanan dan kiri Bince)
Bince     :“Ah, bisa aja lo! Yaaa… gini gini aja kabar gue. Duduk dulu yuk..” (menggandeng lengan Queen menuju food court)
Queen  :“Binceee…. Gue kangen banget sama elo.
Bince     :“Iya doong… mahluk seperti gue emang pantas dikangenin..”
Queen  :“Hhmmmm, mulai deh narsisnya. Eh, bin ntar sore gue ada pesta “karnaval”. Elo bisa dateng nggak?”
Bince     :“Pesta? Ohw mau banget. Ada dresscode nya nggak?
Queen  :“ada? Elo masih tanya ada atau enggak? Pleaseee deh, Bin! Gue gitu loh!”
Bince     :“Apa?”
Queen  :“cosplay apapun! Bebas yang penting sopan!”
Bince     :“Oke. Mulainya jam berapa?”
Queen  :“Tujuh malam. Rencanya gue juga mau ngundang temen temen SMA kita yang seangkatan dulu. Sekalian reunion gitu. Kangen berat, niihh.”
Bince     :“ssiippppp!”

Babak 3
Setting: rumah Queen, tempat pesta berlangsung
Queen  :“Oh My God! Elo cantik banget Bince, baju pink, rok pink, sepatu pink, sarung tangan pink, bando pink, dan…of course, wig pink!”
Bince     :“heheheh4… untung elo nggak nyangka kaau gue aming extravaganza.”
Queen  :“eh, gue nemuin yang lainnya dulu yaa….muach! (mencium pipi kiri bince, dan berlari kecil menuju kerumunan di pojok taman)
Bince     :“Iyeee. (menoleh ke kiri) Haaiii!!!!!
Ria          :”Eh, elo, Bince. Apa kabar? Masih doyan nge-wig rupanya?”
Bince     :”Iya lah. Kan sedari tahun atu gue udah proklamir ke orang orang bakal adi lady of all wigs, hihii!”
Ria          :”Nggak sayang sama rambut asli elo, Bin? Denger denger kalau keseringan pakai wig, rambut bisa rusak. Betul nggak sih?”
Bince     :”Hhmmmm bener sih, tapi gue pingin, gimana dong? Lagian, rambut guenggak indah-indah amat. Ngapain juga ditunjukin.”
Ria          :”jadi kalau indah, bakal elo pamerin, bin?”
Bince     :”Ng…Nggak!”
Ria          :”Dasar!” (mencubit pipi Bince)
Bince     :”Eh, by the way, music udah manggil kita tuh. Joget yuukk!”
Suasana panggung: Makin ramai dan seru. Terdengar suara riuh rendah gelak tawa dan berbagai candaan ringan di halaman belakang rumah Queen. Sebagian orang yang datang ke pesta Queen, Bince kenal. Semua berpakaian sesuai orderan. Ada yang berkostum sebagai The Joker, musuh nomor wahid batan. Ada yang bergaya wonder women, anime jepan yang lagi ngetop, gaya boyband gilrband korea. Dan cukup banyak laki laki yang berdandan ala perempuan.
Junaedi                :”Strategi!”
Bince     :”stragegi apaan?!’
Junaedi                :”kalau gue dandan begini, gue kan bisa colak colek cewek semau gue!”
BInce     :”oh , gitu. Kayak essy Srimulat, dong.”
Junaedi                :”iyaa… keren kan?”
Bince     :”banget. Belis banget maksud gue.’
Suasana panggung: Semua orang bersuka cita. Termasuk Bince yang menikmati setiap alunan musik sang DJ, lagu disko dan entakan kaki yang menari nari . sehingga saat waktu menunjukkan pukul 11 malam, muka BInce menekuk dengan sendirinya.
Bince     :’Elo harus ngundang gue kapan kapan lagi kal ada acara beginian lagi yaaa?” (memeluk Queen)
Queen  :”Iyaa… pasti aku ngundang kamu.” (menepuk nepuk bahu Bince)
Bince     :”Secepatnya?”
Queen  :”Hhmmm… giana kalau sebulan lagi?”
Bince     :”mauuu…”
Queen  :”yaudah… udah sana pulang, kemaleman pulang bisa bahaya tahu!”
Bince     :”Dadaahh….” (melambaikan tangan, lalu berbalik menuju gerbang utama dan menunggu taksi yang lewat)
Babak 4
Sepulangnya di rumah BInce….
Bince     :”hhhooooaaahmmmm”n (menguap selebar lebarnya dan berjalan menuju kamar mandi. Memijit-mijit leher, bahu dan lengannya. Mencuci muka dan berjalan keluar kamar mandi menuju cermin rianya)
Bince     :(melepas wig-nya, dan termangu untuk sesaat, lalu melotot dan mulutnya menganga lebar) Aaaakkkkkhhhhhhhh!!!!!!”
Gawat! Rambut Bince menguap entah kemana. Bince gundul!
Bince     :(memegangi kepala gundulnya dengan nanar lalu mengobrak abrik seluruh isi kamar untuk mencari rambutna yang raib tanpa alasan. Menubek ubek seluruh wig-nya untuk mencari rambutnya) “kemana???? Kemana rambutkuuuu??!!!!”
Bince     :”dasar wig ssiiaaaaaalll!!” (mencengkeam wig pink yang dipakai ke pesta Queen. Mengacak-acak, mengubek-ubek, mereka-reka, memelototi wig merah muda itu)
Dan tak satupun helai rambut hitam Bince tersisa pada wig merah muda itu. akhirnya beberapa kali Bince terperanjat histeris,menangis, berteriak, menjerit dan menendang nendang tembok sampai membuat orang di kamar sebelah mengetuk kamar Bince, memperingatkan.
Deli        :(tok tok tok!) ”ssshhhhhhhhttttttt!!!!!!! Bin, udah malam, jangan berisik!”
Bince     :”hiks…hiks…hiks…” (dengan volume suara yang lebih kecil)
Bince mencoba memakai kembali wig-nya dengan harapan, tiba-tiba saja rambutnya muncul kembali.
Sekali mencoba. Tetap plontos
Dua kali. Sama saja…
Tiga, empat, lima,……. Seratus kali. Tetap plontos dan malah berembun
Babak 5
Setting: kantor perusahaan pelayanan jasa, tempat Bince bekerja
Rena      :”Hai, Bince….”
Bince     :”…..”(tak menoleh)
Doni       :”Bince?”
Bince     :(berlari tanpa menghiraukan Doni)

Bince     : (menghindari banyak obrolan ataupun hanya sekedar sapaan dari para ekan kerjanya. Seharian hanya duduk di depan komputer dengan wajah murung dan berpura pura sibuk. Sampai waktu makan siangpun Bince tak juga beranjak dari duduknya)
Leoni     :”Bince, elo kenapa sih, dari tadi senduuu melulu bawaannya. Ada masalah ya?
Bince     :”….” (menekuk wajahnya)
Leoni     :”Bin? Ngomong dong, mungkin gue bisa bantu.”
Bince     :”…”
Leoni     :”Yaudah, kayaknya elo lagi pengen sendiri, ya. Sori, deh.tapi sebelum gue pergi, gue cuma mau bilang: nanti bos besar mau datang. Rapat orang akunting, yang katanya diundur. Nggak jadi. Hari ini kita tetap meeting. Jam 2 nanti ke ruang rapat, ya. Usahakan jangan mendung terus, oke?”
Bince     :”….”
Saat rapat dimulai….
Bince     : (mengangguk kecil, tersenyum tipis) “ya, terimakasih pak..”
Susi        :”Mbak… Mbak?” (tangan kecil Susi menggapai gapai bahu Bince)
Bince     :”…” (tidak menoleh dan terus berjalan menuju tangga)
Wiwiek :”Bin, dipanggil Susi tuh… anak bos, inget!” (berbisik pada Bince)
Bince     :”……..”
Wiwiek :”Bince, let me tell you something, kalau elo lagi bee, elo boleh cuek ke semua orang—termasuk gue. Tapi untuk Susi.. please, tau sendiri kan dia banyak maunya. Kalau nggak diturutin malah bikin repot orang sekampung.
Susi        :”Mbak !” (berteriak keras dan membuat Bince serta Wiwiek menoleh kearahnya) “Itu wig ya?” (jari telunjukknya mengarah pada wig yang bertengger di kepala Bince)
Bince     :”……” (berbalik kembali dan hendak berjalan, tapi tiba-tiba kepalanya terasa ringan dan adem)
Susi        :”Tante botak pakai rambut palsu… Tante botak pakai rambut palsu….” (membawa wig Bince berlari keliling kantor)
Bince     :”…” (berdiri terpaku, lalu… memekik, menjerit, menangis sambil mengejar Susi)
Susi        : (terus berlari dan merasa senang melihat para karyawan kantor tertawa terpingkal pingkal melihat Bince botak yang mengejar dirinya. Sampai melewati front desk, pintu utama kantor, dan tiba di lapangan parkir, melempar wig milik Bince ke jalan raya. Terlindas bis, taksi, truk,dan puluhan mobil pribadi).
Babak 6
Setting: rumah kos kosan Bince
Bince     :(memotong motong semua wig-nya sesuka hatinya tanpa aturan. Sampai membuat jari jari Bince ikut terluka cukup parah. Lantai penuh dengan helai rambut beraneka macam wig-nya. tak ada wig yang tak hancur. Kecuali wig merah muda penyebab kesialan ini terjadi)
Bince     :”Huuhhhh!!!!” (mengambil wig merah muda itu dan memotong tanpa aturan dengan sangat ganas, melemparnya, menginjak injak dan meludahinya)
Bince     :(merenung, mengingat percakapan pendeknya dengan temannya dulu)
Ima        :”Bin, selain nggak sehat, gue sempet denger kalau cewek yang sukanya menyambung rambut itu susah masuk surganya lhoo. Elo nggak ngeri?”
Bince     :”Ngeri? Ngapain musti ngeri? Gue kan pakai wig, bukannya menyambung rambut!”
Ima        :”Yeee… sama aja lagi kata ustadz, Bin!”
Bince     :”Bodo ah!”
Ima        :(menggeleng gelengkan kepala lalu menghela nafas panjang)
Bince tak pernah mengerti pesan itu, sampai mala mini. Saat takdir membawanya menuju penyesalan.
Tiba tiba, ide memakai wig merah muda itu lagi lalu menanggalkannya terlintas lagi. Ya, mungkin saja ide itu akan berhasil sekarang.
Bince     :(mengambil kembali wig merah muda yang sudah di gunting, diinjak injak, diludahi dan dilempar olehnya tadi)
Bince     :(memakai wig dengan penuh hati hati dan berdo’a sangat khusyuk)
Tiga…. Dua... satu……
Bince     :”Hupft!......Huggghhh!!!! Hiakkgggtt! Arrrkkkhhhhhh!!!.....ARRRRGGHHHHKKKKKKGHHHHH!!!!!!!!”
Celaka! Wig-nya nggak bisa lepas!


 








Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

// Copyright © ILMU BAHASA DAN BUDAYA kelas X //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //